Kainbatik.net - Banyak tradisi yang dilakukan saat hamil 7 bulan, salah satunya adalah Tingkeban atau Mitoni. Masyarakat Jawa melakukan tradisi ini sejak zaman dahulu kala, termasuk di Pekalongan.
Tradisi Tingkeban biasa dilakukan ketika sang janin menginjak usia 7 bulan dalam kandungan ibu. Sementara saat usianya baru 4 bulan, tradisi yang dilakukan adalah Mapati. Selamatan itu sendiri dilakukan sebagai bentuk rasa syukur kepada Tuhan.
Saat mengadakan tradisi selamatan atau selametan, sangat
identik dengan aneka macam makanan yang berlimpah. Demikian pula dalam
Tingkeban yang biasa dilakukan di Pekalongan, macam-macam buah harus disediakan
dalam prosesi selamatan hamil 7 bulan.
Tradisi selamatan ini identik dengan makanan yang beraneka ragam. Misalnya dalam tradisi tingkeban di Pekalongan, berbagai buah harus disediakan.
Adapun macam-macam buah tersebut wajib keberadaannya sebagai bahan
rujak, yang akan mendampingi ambeng atau nasi berkat, begitu orang Pekalongan
biasa menyebut nasi besek tersebut
Apa saja buah yang harus ada?
- Delima
- Belimbing
- Salak
- Bengkoang
- Jambu biji
- Pisang biji (gedhang keletuk muda dan tua)
- Mangga kweni
- Buah bawang
- Tebu
- Kelapa cengkir
- Nanas
- Pakel
- Jeruk Bali
- Kedondong
- Buah kawi
- Buah Parijotho,dan lain sebagainya
- Bahan-bahan yang berupa aneka tumbuhan yang harus disiapkan adalah :
- Daun nangka yang masih segar
- Daun bambu
- Daun salam
- Daun melinjo (godhong so), dan lain sebagainya
Bahan-bahan tersebut bisa didapatkan di lingkungan sekitar rumah ibu hamil, menjadi sebuah makna yang dalam mengenai betapa kita begitu membutuhkan alam.
Sangat miris ketika perkembangan zaman telah menggusur alam
yang sangat berharga, contohnya di daerah Simbang Kulon Buaran Pekalongan, agak
sulit untuk mencari daun bambu.
Adapun prosesi selamatan hamil 7 bulan bukan hanya sekadar tentang manusia dengan keselamatannya saja, namun juga tentang hubungannya dengan alam dan lainnya.
Seperti yang kita ketahui jika alam lengkap dengan
semua tumbuhan yang ada di dalamnya adalah kosmos masyarakat Jawa, yang mana
harus selalu dilindungi dan diselamatkan dari berbagai kerusakan.
Tujuannya sudah tentu supaya anak cucu dan cicit kita di ratusan tahun ke depan masih bisa menikmati lingkungan ini, tanah kelahiran mereka.
Hal ini sangat sesuai dengan filsafat kehidupan masyarakat Jawa, yaitu
“Sangkan Paraning Dumadi”. Maknanya adalah dari mana, akan kemana dan akan jadi
apa mereka pada masa yang akan datang.
Tradisi Tingkeban yang biasa dilakukan di Pekalongan menjadi salah satu model yang apik, dari berbagai macam tradisi yang ada di Pulau Jawa. Misalnya di Kudus, komposisi buah yang akan ditemui berbeda dengan yang di Pekalongan, sekalipun sama-sama Tingkeban.
Jumlah buah yang akan digunakan
untuk rujak di Kudus, tidak sebanyak dan sekomplit di Pekalongan. Rata-rata
menggunakan buah yang memang mudah ditemukan saja, contohnya buah nanas, jeruk
bali dan buah lainnya yang akan dikemas dalam plastik, lalu akan diikat atau
ditusuk menggunakan jarum.
Terdengar berbeda? Tak apa, karena memang begitulah keadaannya. Dengan berbagai perbedaan ini akhirnya membuat Indonesia menjadi kaya raya akan budaya.
Masyarakat Indonesia pun terbiasa hidup di tengah aneka budaya yang begitu indah dan penuh makna. Bahkan untuk di Pulau Jawa sekalipun, tradisi yang dilakukan mungkin sama namun dengan prosesi yang berbeda-beda, disesuaikan dengan kondisi lingkungannya masing-masing.